Partisipasi Versus Mobilisasi ?
Sebelum masa reformasi partisipasi baik itu partisipasi masyarakat yang bersifat politik, sosial, ekonomi bahkan budaya sering diidentikkan dengan sebuah tindakan yang bersifat “ tidak manusiawi “ di mata negara bahkan cenderung diarahkan untuk mematikan segala macam bentuk partisipasi dari level bawah sampai atas sekalipun. Partisipasi dianggap sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap negara dan bisa menghambat proses pembangunan ke depan. Dan semua itu mesti dimandulkan bahkan kalau bisa dimatikan.
Seiring perkembangan zaman, partisipasi publik bukan lagi sebuah wacana yang harus diperdebatkan tetapi berkembang dengan sangat dinamis. Di segala aspek kehidupan selalu penuh dengan tuntutan agar masyarakat turut serta berpartisipasi. Bahkan keberhasilan pembangunan sebuah negara dikatakan Pemerintah sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya partisipasi rakyatnya. Bisa dikatakan Pemerintah berusaha bersembunyi dari kewajibannya dan membebankan keberhasilan pembangunan adalah tanggung jawab rakyat sepenuhnya.
Dalam setiap kesempatan para tokoh pemerintah baik itu Eksekutif maupun Legislatif selalu bicara bahwa pelaksanaan pembangunan maupun otonomi daerah tidak bakal berhasil kalau tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Tetapi dalam prakteknya, partisipasi tidak lebih dari sekadar sosialisasi dan mobilisasi.
Kita sering melihat jargon-jargon di setiap daerah yang pada intinya adalah memobilisasi rakyat secara halus dimana ketundukan rakyat adalah bentuk dari partisipasi. Sesuatu hal yang sangat naïf dan menyesatkan wacana rakyat tentang makna partisipasi itu sendiri. Misalkan saja jargon “ Orang Bijak Taat Pajak “ atau juga “ Terima Kasih Atas Partisipasi Masyarakat dalam Pelunasan PBB “. Bukan hanya tulisan itu saja, saat dimana teknologi sudah semakin maju media televisi maupun radio juga dijadikan alat oleh Pemerintah untuk memobilisasi rakyat. Misal iklan masyarakat tentang sosialisasi kenaikan BBM ataupun Tarif Dasar Listrik sarat sekali dengan mobilisasi. Yang menjadi permasalahan adalah kenapa Pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi dengan mengatasnamakan partisipasi, ketika Pemerintah menbutuhkan dukungan. Kejadian ini sering terulang, ibaratnya jatuh berkali-kali pada lubang yang sama, tetapi pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan, kenapa tidak merubah pola sosialisasi dan mobilisasi menjadi konsultasi sejak awal.
Pemberian dana kompensasi BBM pun juga perlu dikritisi bersama. Dengan alasan untuk mengimbangi kenaikan harga BBM dunia juga mengurangi tingkat kebocoran dana maka subsidi BBM perlu dikurangi dengan cara menaikkan harga BBM. Sosialisasi pun dilakukan secara gencar melalui media massa ataupun melalui Pemerintah pada tingkat local. Pemerintah lalu bersikap romantis bahwa kali ini dana kompensasi akan benar-benar sampai pada rakyat miskin. Pemerintah hanya mengajukan criteria-kriteria rakyat miskin tanpa pernah tahu kondisi di bawah yang sebenarnya. Yang terjadi kemudian adalah kebingungan pada tingkat bawah, terjadi “rebutan” dana kompensasi sehingga apa yang diharapkan tidak pernah sampai pada tujuan.
Sebuah kebijakan yang sebenarnya harus kita kritisi bersama, sebuah sosialisasi yang tidak pernah sampai pada tingkat bawah. Kebijakan yang hanya bisa membuat rakyat menjadi manja, berebut rejeki dengan mengaku menjadi rakyat miskin hanya untuk mendapatkan uang tanpa bersusah payah. Selayaknya dari awal Pemerintah melakukan dialog dan konsultasi terlebih dahulu semisal dengan para Wakil Rakyat, tetapi pada kenyataannya pula wakil rakyat juga tidak pernah bisa disebut sebagai “ wakil rakyat “. Sehingga timbul rasa ketidakpercayaan ( distrust ). Secara empirik pemerintah dan parlemen, yang telah memperoleh mandat dari rakyat, hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak akuntabel, tidak peka (responsif), dan tidak dapat dipercaya.
Pemerintah berusaha menanamkan pada rakyat bahwa partisipasi adalah sesuatu yang sangat penting dan merupakan kunci yang sangat menentukan keberhasilan suatu pemerintahan dan pembangunan. Rakyat seolah di ninabobokan akan keindahan partisipasi sehingga melupakan esensi sebenarnya dari partisipasi itu dan Pemerintah pun seolah terpenuhi mimpinya sehingga juga melupakan tanggung jawab mereka sebenarnya untuk membangun sebuah negara yang adil dan makmur sesuai yang telah diamanatkan rakyat kepadanya.
Secara substantif, partisipasi mencakup:
- Voice (suara), artinya setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat dan dijadikan basis pembuatan keputusan.
- Akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan termasuk akses dalam pelayanan publik.
- Kontrol, yakni setiap warga atau elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.
Tetapi rasanya pemerintah dan parlemen akan phobie dengan konsep partisipasi yang memberi kekuatan besar bagi masyarakat tersebut. Mereka sering punya banyak alasan untuk phobie. Pertama, kebebasan masyarakat justru akan melahirkan budaya asal bunyi (waton suloyo), kebebasan yang kebabalasan (anarkhis). Kedua, partisipasi tidak diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan. Ketiga, aspirasi dan partisipasi masyarakat sebenarnya sudah terwadahi secara resmi dalam lembaga perwakilan (legislatif). Banyak pejabat sering bertanya, siapa masyarakat itu, seraya mengingatkan warga agar tidak anarkhis serta menegaskan supaya warga menggunakan jalur resmi yang benar melalui wakil rakyat untuk menyampaikan aspirasinya.
Pemerintah sebenarnya sudah lama punya konsep besar (GBHN, propenas, propeda, renstrada, dan lain-lain) yang dirumuskan secara elitis dan teknokratis untuk “merekayasa” masyarakat. Kelihatannya sangat indah untuk dibaca. Tetapi berbagai dokumen rekayasa itu hanya jadi barang mati karena keliru pendekatan serta tidak didukung oleh konsistensi antara konsep dan tindakan. Kaya konsep tapi miskin komitmen dan tindakan. Karena itu, bagi saya, kata kuncinya adalah belajar bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pembangunan tidak harus dimaknai sebagai mekanisme rekayasa secara teknokratis, melainkan dijalankan secara inkremental melalui proses belajar (learning process) bersama.
Proses belajar bersama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain dialog dalam forum warga maupun melalui media massa. Proses ini selain menumbuhkan mutual trust juga akan melahirkan agenda tindakan bersama yang relevan dengan preferensi lokal. Tetapi proses ini, secara empirik, menghadapi banyak kendala. Para pejabat tidak pernah berpikir setara di hadapan masyarakat, melainkan sebagai pembina yang harus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Para pejabat tidak suka (tidak bersedia) belajar, melainkan lebih suka memberi sambutan dalam berbagai kegiatan seremonial, ceramah, atau penyuluhan secara monolog kepada masyarakat. Saya sangat yakin bahwa banyaknya kegiatan seremonial yang penuh dengan sambutan dan ceramah pasti menghilangkan makna serta menyembunyikan masalah yang sebenarnya. Kalau memang para pejabat tidak bersedia belajar bersama dengan masyarakat, maka mereka pantas untuk diberi pelajaran!
Seiring perkembangan zaman, partisipasi publik bukan lagi sebuah wacana yang harus diperdebatkan tetapi berkembang dengan sangat dinamis. Di segala aspek kehidupan selalu penuh dengan tuntutan agar masyarakat turut serta berpartisipasi. Bahkan keberhasilan pembangunan sebuah negara dikatakan Pemerintah sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya partisipasi rakyatnya. Bisa dikatakan Pemerintah berusaha bersembunyi dari kewajibannya dan membebankan keberhasilan pembangunan adalah tanggung jawab rakyat sepenuhnya.
Dalam setiap kesempatan para tokoh pemerintah baik itu Eksekutif maupun Legislatif selalu bicara bahwa pelaksanaan pembangunan maupun otonomi daerah tidak bakal berhasil kalau tidak didukung oleh partisipasi masyarakat. Tetapi dalam prakteknya, partisipasi tidak lebih dari sekadar sosialisasi dan mobilisasi.
Kita sering melihat jargon-jargon di setiap daerah yang pada intinya adalah memobilisasi rakyat secara halus dimana ketundukan rakyat adalah bentuk dari partisipasi. Sesuatu hal yang sangat naïf dan menyesatkan wacana rakyat tentang makna partisipasi itu sendiri. Misalkan saja jargon “ Orang Bijak Taat Pajak “ atau juga “ Terima Kasih Atas Partisipasi Masyarakat dalam Pelunasan PBB “. Bukan hanya tulisan itu saja, saat dimana teknologi sudah semakin maju media televisi maupun radio juga dijadikan alat oleh Pemerintah untuk memobilisasi rakyat. Misal iklan masyarakat tentang sosialisasi kenaikan BBM ataupun Tarif Dasar Listrik sarat sekali dengan mobilisasi. Yang menjadi permasalahan adalah kenapa Pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi dengan mengatasnamakan partisipasi, ketika Pemerintah menbutuhkan dukungan. Kejadian ini sering terulang, ibaratnya jatuh berkali-kali pada lubang yang sama, tetapi pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan, kenapa tidak merubah pola sosialisasi dan mobilisasi menjadi konsultasi sejak awal.
Pemberian dana kompensasi BBM pun juga perlu dikritisi bersama. Dengan alasan untuk mengimbangi kenaikan harga BBM dunia juga mengurangi tingkat kebocoran dana maka subsidi BBM perlu dikurangi dengan cara menaikkan harga BBM. Sosialisasi pun dilakukan secara gencar melalui media massa ataupun melalui Pemerintah pada tingkat local. Pemerintah lalu bersikap romantis bahwa kali ini dana kompensasi akan benar-benar sampai pada rakyat miskin. Pemerintah hanya mengajukan criteria-kriteria rakyat miskin tanpa pernah tahu kondisi di bawah yang sebenarnya. Yang terjadi kemudian adalah kebingungan pada tingkat bawah, terjadi “rebutan” dana kompensasi sehingga apa yang diharapkan tidak pernah sampai pada tujuan.
Sebuah kebijakan yang sebenarnya harus kita kritisi bersama, sebuah sosialisasi yang tidak pernah sampai pada tingkat bawah. Kebijakan yang hanya bisa membuat rakyat menjadi manja, berebut rejeki dengan mengaku menjadi rakyat miskin hanya untuk mendapatkan uang tanpa bersusah payah. Selayaknya dari awal Pemerintah melakukan dialog dan konsultasi terlebih dahulu semisal dengan para Wakil Rakyat, tetapi pada kenyataannya pula wakil rakyat juga tidak pernah bisa disebut sebagai “ wakil rakyat “. Sehingga timbul rasa ketidakpercayaan ( distrust ). Secara empirik pemerintah dan parlemen, yang telah memperoleh mandat dari rakyat, hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak akuntabel, tidak peka (responsif), dan tidak dapat dipercaya.
Pemerintah berusaha menanamkan pada rakyat bahwa partisipasi adalah sesuatu yang sangat penting dan merupakan kunci yang sangat menentukan keberhasilan suatu pemerintahan dan pembangunan. Rakyat seolah di ninabobokan akan keindahan partisipasi sehingga melupakan esensi sebenarnya dari partisipasi itu dan Pemerintah pun seolah terpenuhi mimpinya sehingga juga melupakan tanggung jawab mereka sebenarnya untuk membangun sebuah negara yang adil dan makmur sesuai yang telah diamanatkan rakyat kepadanya.
Secara substantif, partisipasi mencakup:
- Voice (suara), artinya setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat dan dijadikan basis pembuatan keputusan.
- Akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan termasuk akses dalam pelayanan publik.
- Kontrol, yakni setiap warga atau elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan atau kontrol terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.
Tetapi rasanya pemerintah dan parlemen akan phobie dengan konsep partisipasi yang memberi kekuatan besar bagi masyarakat tersebut. Mereka sering punya banyak alasan untuk phobie. Pertama, kebebasan masyarakat justru akan melahirkan budaya asal bunyi (waton suloyo), kebebasan yang kebabalasan (anarkhis). Kedua, partisipasi tidak diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan. Ketiga, aspirasi dan partisipasi masyarakat sebenarnya sudah terwadahi secara resmi dalam lembaga perwakilan (legislatif). Banyak pejabat sering bertanya, siapa masyarakat itu, seraya mengingatkan warga agar tidak anarkhis serta menegaskan supaya warga menggunakan jalur resmi yang benar melalui wakil rakyat untuk menyampaikan aspirasinya.
Pemerintah sebenarnya sudah lama punya konsep besar (GBHN, propenas, propeda, renstrada, dan lain-lain) yang dirumuskan secara elitis dan teknokratis untuk “merekayasa” masyarakat. Kelihatannya sangat indah untuk dibaca. Tetapi berbagai dokumen rekayasa itu hanya jadi barang mati karena keliru pendekatan serta tidak didukung oleh konsistensi antara konsep dan tindakan. Kaya konsep tapi miskin komitmen dan tindakan. Karena itu, bagi saya, kata kuncinya adalah belajar bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pembangunan tidak harus dimaknai sebagai mekanisme rekayasa secara teknokratis, melainkan dijalankan secara inkremental melalui proses belajar (learning process) bersama.
Proses belajar bersama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain dialog dalam forum warga maupun melalui media massa. Proses ini selain menumbuhkan mutual trust juga akan melahirkan agenda tindakan bersama yang relevan dengan preferensi lokal. Tetapi proses ini, secara empirik, menghadapi banyak kendala. Para pejabat tidak pernah berpikir setara di hadapan masyarakat, melainkan sebagai pembina yang harus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Para pejabat tidak suka (tidak bersedia) belajar, melainkan lebih suka memberi sambutan dalam berbagai kegiatan seremonial, ceramah, atau penyuluhan secara monolog kepada masyarakat. Saya sangat yakin bahwa banyaknya kegiatan seremonial yang penuh dengan sambutan dan ceramah pasti menghilangkan makna serta menyembunyikan masalah yang sebenarnya. Kalau memang para pejabat tidak bersedia belajar bersama dengan masyarakat, maka mereka pantas untuk diberi pelajaran!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home