Makan Nasi Aking?
Jalan yang kulalui siang itu sedikit membuatku sakit kepala ditambah udara yang begitu menyengat khas daerah pesisir. Bau ikan di sepanjang jalan sedikit membuatku mual. Tapi setidaknya obrolan dengan Mas Imam (Trans TV), Mas Ali (RCTI), Mas Bayu (Suara Merdeka), Mas Wi2ng (An TV) dan Mas P-yank (Metro TV) mampu menyegarkan suasana. Obrolan khas para wartawan. Ceplas-ceplos meski terkadang agak vulgar, tapi aku menikmati semua itu karena berteman dengan mereka bisa membuatku nyaman. Sebuah pertemanan yang mengasyikkan, bahkan mereka terkadang terlalu protektif terhadapku seolah aku adalah satu-satunya adik perempuan mereka. Ah, seperti oase di tengah kegersangan jiwa yang kualami.
Desa Prapag Lor, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes mempunyai total KK 1.588 jiwa, dengan keluarga miskin sebanyak 908 jiwa atau sebesar 57,18 %. Sebagian penduduk desa bekerja sebagai nelayan, juga buruh kupas kerang. Sebuah kehidupan khas pesisir di Indonesia yang cenderung sedikit kumuh. Dan perjalananku kali ini akan menemui salah satu penduduk desa Prapag Lor yang kabarnya tidak mampu membeli beras dan sehari-harinya makan nasi aking ( nasi yang berasal dari nasi sisa yang dikeringkan kemudian dimasak lagi ).
Tarini, nama perempuan tua itu. Tubuhnya kurus dengan rambut yang memutih dibungkus dengan pakaian yang sedikit kumal, kulitnya sedikit legam karena terbakar matahari pesisir. Sehari-hari Tarini bekerja sebagai buruh “ngupas kerang” dengan upah satu kilo isi kerang, dibayar Rp. 1200,-, terkadang dalam sehari, Tarini mampu mengupas 2 s/d 3 kg, sehingga tidak mampu membeli beras yang pada akhirnya membeli aking sebagai makanan pokok sehari-hari pengganti nasi. Sebuah kondisi yang membuatku miris. Ah, ternyata benar bahwa Tuhan terletak di punggung-punggung orang miskin.
Ketika kami sampai di rumah Tarini terlihat perempuan tua itu sedang “menampi” aking bakal makanan yang akan ia santap dengan anak dan cucunya siang itu. Rumah gedek berukuran 4 x 4 itu terasa sumpeg, bagian depan berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus tempat tidur sekeluarga, bale-bale bambu itu sudah nampak tua mungkin seumur dengan Tarini. Bagian belakang adalan dapur, tempat MCK dan tempat memelihara mentog ( semacam bebek / unggas ). Sebuah pemandangan yang sangat kontras ketika mata kita memandang tambak yang berada di depan dan belakang rumah Tarini. Juga sedikit agak jauh, perahu-perahu nelayan bersandar untuk menurunkan hasil tangkapan mereka. Anak-anak kecil berlarian ke arah kami dengan rasa ingin tahu yang begitu besar, sehingga sedikit menyulitkan kami untuk mewawancarai Tarini dan mendokumentasikannya. Aku merasa semakin sakit kepala dengan kondisi ini.
***
Ada kata yang tersekat dan juga air mata yang tertahan ketika aku mendengar langsung dari para Pemimpin Kabupaten Brebes, yang mengatakan bahwa permasalahan itu adalah persoalan yang biasa.
“Mereka makan nasi aking karena sekarang kan baru banyak orang hajatan, jadi nasi berkat hajatan, mereka keringkan untuk nasi aking.”
Dan tak kalah menyakitkan adalah komentar bahwa nasi aking bukanlah makanan pokok mereka tetapi cuma sebuah tradisi, cuma dijadikan snack atau selingan saja. Terlebih lagi dikatakan ini hanya rekayasa orang-orang tertentu yang berambisi untuk menang dalam Pilkadal tahun 2007 dan menjatuhkan image Pemkab. IRONIS!!!
Sebuah ketidakpedulian Pemkab atas masalah yang dihadapi oleh penduduknya yang benar-benar miskin, dimana hal ini seperti dejavu. Tahun lalu, terjadi hal yang sama dan ketika Pemkab memberi bantuan yang mencapai puluhan ton beras, Tarini hanya menerima 2,5 kg dengan alasan dibagi rata dengan penduduk lain, padahal pada kenyataannya banyak penduduk yang mampu menerima beras tersebut. Siapa yang salah? Penduduk yang iri dan tak mengerti ataukah ketidakpedulian pemerintah?
Ada cerita yang tak kalah menyedihkan terungkap. Sebagian besar penduduk Prapag Lor yang menerima BLT menjual kartu mereka seharga Rp. 200.000,- dengan alasan mereka lebih baik menjualnya karena kalau ditukarkanpun cuma menerima Rp. 250.000,- karena sudah dipotong Rp. 50.000,- untuk kas desa, itupun harus ditunggu selama 3 bulan. Sebuah kondisi yang menyedihkan, dimana Pemerintah sedang gencar-gencarnya membuat program pengentasan kemiskinan.