Tuesday, September 12, 2006

Makan Nasi Aking?

Jalan yang kulalui siang itu sedikit membuatku sakit kepala ditambah udara yang begitu menyengat khas daerah pesisir. Bau ikan di sepanjang jalan sedikit membuatku mual. Tapi setidaknya obrolan dengan Mas Imam (Trans TV), Mas Ali (RCTI), Mas Bayu (Suara Merdeka), Mas Wi2ng (An TV) dan Mas P-yank (Metro TV) mampu menyegarkan suasana. Obrolan khas para wartawan. Ceplas-ceplos meski terkadang agak vulgar, tapi aku menikmati semua itu karena berteman dengan mereka bisa membuatku nyaman. Sebuah pertemanan yang mengasyikkan, bahkan mereka terkadang terlalu protektif terhadapku seolah aku adalah satu-satunya adik perempuan mereka. Ah, seperti oase di tengah kegersangan jiwa yang kualami.

Desa Prapag Lor, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes mempunyai total KK 1.588 jiwa, dengan keluarga miskin sebanyak 908 jiwa atau sebesar 57,18 %. Sebagian penduduk desa bekerja sebagai nelayan, juga buruh kupas kerang. Sebuah kehidupan khas pesisir di Indonesia yang cenderung sedikit kumuh. Dan perjalananku kali ini akan menemui salah satu penduduk desa Prapag Lor yang kabarnya tidak mampu membeli beras dan sehari-harinya makan nasi aking ( nasi yang berasal dari nasi sisa yang dikeringkan kemudian dimasak lagi ).

Tarini, nama perempuan tua itu. Tubuhnya kurus dengan rambut yang memutih dibungkus dengan pakaian yang sedikit kumal, kulitnya sedikit legam karena terbakar matahari pesisir. Sehari-hari Tarini bekerja sebagai buruh “ngupas kerang” dengan upah satu kilo isi kerang, dibayar Rp. 1200,-, terkadang dalam sehari, Tarini mampu mengupas 2 s/d 3 kg, sehingga tidak mampu membeli beras yang pada akhirnya membeli aking sebagai makanan pokok sehari-hari pengganti nasi. Sebuah kondisi yang membuatku miris. Ah, ternyata benar bahwa Tuhan terletak di punggung-punggung orang miskin.

Ketika kami sampai di rumah Tarini terlihat perempuan tua itu sedang “menampi” aking bakal makanan yang akan ia santap dengan anak dan cucunya siang itu. Rumah gedek berukuran 4 x 4 itu terasa sumpeg, bagian depan berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus tempat tidur sekeluarga, bale-bale bambu itu sudah nampak tua mungkin seumur dengan Tarini. Bagian belakang adalan dapur, tempat MCK dan tempat memelihara mentog ( semacam bebek / unggas ). Sebuah pemandangan yang sangat kontras ketika mata kita memandang tambak yang berada di depan dan belakang rumah Tarini. Juga sedikit agak jauh, perahu-perahu nelayan bersandar untuk menurunkan hasil tangkapan mereka. Anak-anak kecil berlarian ke arah kami dengan rasa ingin tahu yang begitu besar, sehingga sedikit menyulitkan kami untuk mewawancarai Tarini dan mendokumentasikannya. Aku merasa semakin sakit kepala dengan kondisi ini.


***

Ada kata yang tersekat dan juga air mata yang tertahan ketika aku mendengar langsung dari para Pemimpin Kabupaten Brebes, yang mengatakan bahwa permasalahan itu adalah persoalan yang biasa.

“Mereka makan nasi aking karena sekarang kan baru banyak orang hajatan, jadi nasi berkat hajatan, mereka keringkan untuk nasi aking.”

Dan tak kalah menyakitkan adalah komentar bahwa nasi aking bukanlah makanan pokok mereka tetapi cuma sebuah tradisi, cuma dijadikan snack atau selingan saja. Terlebih lagi dikatakan ini hanya rekayasa orang-orang tertentu yang berambisi untuk menang dalam Pilkadal tahun 2007 dan menjatuhkan image Pemkab. IRONIS!!!

Sebuah ketidakpedulian Pemkab atas masalah yang dihadapi oleh penduduknya yang benar-benar miskin, dimana hal ini seperti dejavu. Tahun lalu, terjadi hal yang sama dan ketika Pemkab memberi bantuan yang mencapai puluhan ton beras, Tarini hanya menerima 2,5 kg dengan alasan dibagi rata dengan penduduk lain, padahal pada kenyataannya banyak penduduk yang mampu menerima beras tersebut. Siapa yang salah? Penduduk yang iri dan tak mengerti ataukah ketidakpedulian pemerintah?

Ada cerita yang tak kalah menyedihkan terungkap. Sebagian besar penduduk Prapag Lor yang menerima BLT menjual kartu mereka seharga Rp. 200.000,- dengan alasan mereka lebih baik menjualnya karena kalau ditukarkanpun cuma menerima Rp. 250.000,- karena sudah dipotong Rp. 50.000,- untuk kas desa, itupun harus ditunggu selama 3 bulan. Sebuah kondisi yang menyedihkan, dimana Pemerintah sedang gencar-gencarnya membuat program pengentasan kemiskinan.

Saturday, March 11, 2006

Desaku Yang Kucinta.......

Teman saya, selalu mengajak menyanyikan lagu “Desaku” ketika dia kuajak pulang ke kampung halamanku. “Desaku yang kucinta….”, demikian lantunan bait pertama lagu Desaku yang dinyanyikan secara kompak. Begitu romantik, syahdu dan menggetarkan hati. Jika Indonesia Raya merupakan sebuah national anthem untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia, Desaku adalah sebuah local anthem yang mungkin bisa membangkitkan kecintaan dan kepedulian terhadap desa. Kepedulian terhadap desa adalah sebuah komitmen mulia, karena desa adalah basis kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Kalau Anda punya kepedulian terhadap masyarakat akar-rumput, maka Anda tidak boleh melupakan desa. Membangun negara-bangsa Indonesia, demikian tuturnya, harus dimulai dari bawah, yaitu membuat desa terkondisi yang kemudian diangkat naik ke atas. Bagaimana melakukan transformasi dari cinta pada desa menuju komitmen pada desa yang membuat desa terkondisi? Cinta mungkin terlalu klise yang didramatisir dalam sinetron. Tetapi komitmen harus diwujudkan menjadi the real actions. Sebuah komitmen pada desa bisa kita mulai dari pembacaan secara berpihak terhadap posisi desa dalam konteks struktur ekonomi-politik yang timpang, yang hirarkhis-sentralistik, antara desa dengan supradesa (rezim global, nasional, provinsi dan kabupaten). Adalah kebijakan pemerintah dan sindrom pembangunanisme yang membuat desa terpuruk dan marginal. Baik pemerintah, akademisi, maupun sebagian besar warga Indonesia memandang desa dengan sebelah mata: orang desa itu miskin, bodoh, kolot, tradisional, terbelakang, dan seterusnya. Paradigma pembangunan selama ini berupaya membikin desa seperti kota dengan cara yang keliru. Pemerintah membikin rencana nasional secara sentralistik lalu diterapkan melalui jalur hirarkhi birokrasi ke desa. Desa hanya jadi obyek. Akibatnya sebutan desa itu inferior. Orang merasa rendah diri kalau mengidentifikasi sebagai “orang desa” atau belajar mengkaji desa. Semua pandangan itu harus dirombak dan harus dibalik. Desa menyimpan potensi dan kekuatan yang luar biasa: kearifan lokal, modal sosial, basis ekonomi rakyat dan lain-lain. Karena itu, kebijakan pembangunan harus berangkat dari desa, yakni mengangkat potensi dan kekuatan desa, bukan sebaliknya membawa konsep (entah dari mana asalnya) untuk merusak potensi dan kekuatan desa. Kalau dalam konteks desentralisasi (relasi desa dengan supradesa), desa harus “dibela”. Mengapa? Desentralisasi menganjurkan bahwa kekuasaan, kewenangan, kekayaan dan tanggungjawab harus dialihkan dari atas ke bawah sampai ke desa. Desa harus mandiri. Prinsip subsidiarity (pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara lokal) harus jalan tanpa harus menunggu instruksi (dhawuh) dari atas. Kalau desentralisasi dan subsidiarity jalan, maka desa jadi lebih kreatif dan bertanggungjawab, sehingga kreasi maupun potensi lokal bisa dibangkitkan. Sebaliknya, kalau desa diperintah terus, maka ia jadi kerdil terus. Tetapi praktik desentralisasi di Indonesia tidak berpihak kepada desa. Desa dipandang sebelah mata oleh Jakarta dan Kabupaten. Desa menjadi domain kekuasaan dan kewenangan kabupaten. Desa tidak punya otonomi. Otonomi daerah berhenti di tangan bupati. Konteks politik inilah yang kini mendorong lahirnya banyak aliansi desa untuk mendesakkan otonomi desa di hadapan pemerintah supradesa. Kekuatan civil society yang menaruh komitmen pada masyarakat bawah tentu harus ikut berjuang “membela” aliansi desa itu. Ke depan civil society movement adalah kekuatan besar yang bakal menjebol struktur kekuasaan yang hirarkhis-sentralistik, dan sekaligus membawa transformasi otonomi desa yang berkelanjutan.( Copas )

Friday, March 03, 2006

Rumput Lini

Hujan deras mengiringi perjalananku di beberapa desa Kecamatan Brebes. Perjalananku berawal dari Desa Randusanga, Sigempol, Sigambir, Pagejugan, Kedunguter, Tengki dan Kaliwlingi. Jalan desa yang sebagian belum beraspal sedikit menghambat laju mobil tua yang kunaiki. Bau anyir masih tercium meskipun sudah kututup jendela kaca mobil. Mungkin ini pengaruh dari kondisi desa yang masih dekat dengan laut dan rawa juga tambak-tambak penduduk desa. Beberapa anak kecil terlihat asyik bermain hujan tanpa takut kotor. Mereka berlarian, tertawa lepas seolah beban hidup yang menghadang di masa depan terabaikan. Ah, masa kecil memang membahagiakan.

Di beberapa sudut desa aku melihat banyak sekali lahan kosong yang hanya ditumbuhi rumput lini. Sebuah pemandangan yang menurutku sangat menyedihkan. Rumput lini akan indah jika dijadikan tanaman hias di depan rumah dengan menanam beberapa batang saja tapi ketika rumput lini tumbuh di lahan yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan hectare, bisa dibayangkan betapa ironisnya kondisi ini.

Menurut kakakku, hal ini berawal ketika ada sebuah kebijakan dari Pemerintah Daerah beberapa tahun ke belakang yang mengijinkan pembuatan tambak. Tapi kebijakan ini tanpa dibarengi dengan pemikiran yang bijak. Tambak hanya dimiliki oleh beberapa “cukong” yang notabene adalah para pejabat pemerintah atapun orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Tak hanya sampai disitu, pembangunan tambak ini juga tanpa perencanaan lingkungan yang baik. Tanpa ada system pengairan dan letak tambak yang ramah lingkungan, dan akibatnya lahan-lahan yang sebelumnya lahan produktif menjadi lahan tidur karena berubah menjadi rawa dan pada akhirnya tumbuh rumput lini yang panjangnya bisa mencapai 3 sampai 4 meter.

Para pemilik lahan yang pada umumnya adalah rakyat kecil hanya bisa membiarkan kejadian itu tanpa bisa berbuat banyak. Membiarkan lahan mereka tak berfungsi sedangkan tiap tahunnya mereka masih harus membayar pajak untuk tanah mereka yang tak bisa menghasilkan lagi. Dari beberapa pemilik lahan yang ada mereka memilih untuk menjual lahan tersebut tapi dengan harga yang sangat jauh dari kepantasan. Mereka berpikir lebih baik dijual daripada tidak menghasilkan malah merugikan buat mereka.

Tapi, ada sesuatu yang membuatku agak miris ketika aku tahu bahwa tanah-tanah mereka dibeli oleh para pejabat, pengusaha ataupun orang-orang yang berduit. Dengan asumsi bahwa untuk beberapa tahun kedepan tanah itu akan mereka jadikan proyek perumahan. Bisa dibayangkan harga rumah untuk beberapa tahun kedepan? Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang bisa mereka peroleh? Dan pada akhirnya rakyat kecillah yang dirugikan dengan situasi seperti ini.

Di Kecamatan Brebes ada sekitar 60 hectare lahan kosong yang ditumbuhi rumput lini, belum daerah-daerah Brebes lainnya yang memiliki masalah yang sama. Dari 17 kecamatan yang ada mungkin ada ratusan ribu hectare lahan kosong yang tak bisa dimanfaatkan sama sekali. Sangat menyedihkan.

Ah, seharusnya Pemerintah Kabupaten tanggap dengan kondisi ini. Seharusnya Pemkab bisa membuat kebijakan yang berkiblat pada kepentingan rakyat kecil bukan kepentingan segelintir orang saja. Seharusnya Pemkab bisa lebih bijak dalam membuat sebuah kebijakan.

Gerimis masih saja mengiringi perjalananku ketika kuputuskan untuk menikmati senja ini di Pantai Randusanga. Sepanjang jalan masih kulihat para ”Buruh Butik” ( pekerja yang membersihkan bawang merah ) sibuk menutupi bawang merah yang terjejer rapi agar terhindar dari gerimis yang mungkin sebentar lagi berubah menjadi hujan.

Bawang merah merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi unggulan Brebes. Sebagian besar penduduk Brebes adalah petani bawang merah. Para buruh butik biasanya adalah perempuan yang memerima bayaran Rp. 15.000,- setelah mereka bekerja dari pagi hingga magrib menjelang.

Meskipun jalan yang kulalui sudah rusak parah dan setahuku ini sudah menjadi ciri khas Kabupaten Brebes, tak menyurutkan mataku untuk menikmati pemandangan yang menakjubkan. Tambak yang terbentang luas, rumput lini yang menghampar di ujung tambak, juga langit yang mulai berwarna violet seiring gerimis yang mampu membuat musik yang indah.

Betapa Mahalnya Demokrasi

Masih tersisa rasa kecewa meskipun bukan kekecewaan yang membuatku insomnia. Tapi paling tidak setiap pagi ketika nyampe kantor selalu pembicaraan mengenai lomba Koor kemaren. Sebuah kekecewaan yang bukan milikku semata, hanya saja mungkin kekecewaan yang kurasakan berbeda dengan temen kantorku. Mereka lebih pada hasil lomba tapi aku lebih daripada itu.

***

Meskipun semalam aku juga mengalami insomnia tapi lebih karena aku berpikir tentangmu. Sebenarnya dari pagi aku terlalu sibuk hingga sedikit melupakanmu, tapi entah sehabis sholat Isya` ada keinginan kuat untuk menghubungimu, gelisah tanpa aku tahu apa sebabnya. Hingga pikiran burukpun sering terlintas. Hanya saja aku takut menangis lagi jika aku dengar suaramu, maka kuputuskan untuk tak menelponmu, hanya doa kupanjatkan semoga kau baik-baik saja.

Paginya di kantor aku masih saja gelisah hingga temanku bilang aku kayak orang kebingungan dan dengan sedikit keberanian kukirim SMS untukmu. Ah, ternyata kau sakit. Tapi aku tak bisa membantumu hanya doaku semoga kau cepat sembuh. Andaikan Timika tak jauh dari Brebes…

***

Waduh, kok jadi ngelantur ceritanya. Kembali pada kekecewaanku pada perlombaan Koor Dharma Wanita di kotaku.

Ada hal yang lucu ketika aku datang ke tempat perlombaan dan mendengarkan Tata Tertib atau Peraturan perlombaan. Salah satu point yang menurutku sangat janggal ketika aku mendengar bahwa
‘’ jika ingin mengajukan protes mengenai peraturan ataupun hasil lomba maka diwajibkan membayar denda Rp. 200.000, - ‘’ .

Walah, BETAPA MAHALNYA SEBUAH DEMOKRASI.

Dan benar saja perkiraanku dari awal, ketika hasil lomba diumumkan banyak peserta yang ‘’ nggrundel ‘’ alias kecewa tapi hanya sebatas itu saja, mereka banyak yang bilang, ‘’ Daripada uang 200 ribu buat bayar untuk protes lebih baik digunakan untuk makan bareng.’’

Tapi menurutku ini juga lebih parah lagi, berarti memang benar bahwa materi bisa membuat orang berpikiran…. Entahlah, orang bisa menjadi tumpul ketika dihadapkan pada materi, orang bisa takut untuk mengeluarkan pendapat hanya karena materi, bisa juga orang mau mengeluarkan pendapat karena dibayar dengan materi. Begitulah, kita masih hidup si sebuah Negara yang…

***

Dan itupun tidak berhenti sampai disitu, ketika aku bertemu dengan salah satu wartawan Koran local juga nasional aku sempat bertukar pikiran dengan mereka. Mereka pun sepakat dengan pemikiranku, dan berjanji akan menulisnya esok hari di Koran mereka.

Tapi keesokan paginya ketika kubuka lembaran Koran tak ada tulisan tentang itu. Siangnya baru aku tahu ternyata ketika mereka konfirmasi ke Panitia Lomba, Panitia memberi mereka sejumlah uang agar tak menulis peristiwa itu di Koran. Juga banyaknya tekanan dari para pejabat, bahkan salah satu Kasi ku sempat menegurku dengan bahasa yang sangat menyakitkan.

TERNYATA DEMOKRASI ITU MEMANG MAHAL.




Brebes, 9 Desember 2005

Dan Mereka pun Berjilbab....

Waktu menunjukkan jam 08.00 WIB ketika rombongan peserta Koor kantorku sampai di tempat perlombaan. Masih pagi tapi matahari terasa terik sekali, panas. Debu-debu beterbangan seiring langkah-langkah kaki para Ibu-ibu yang menjadi peserta lomba juga para ‘’suporter’’ mereka tentunya. Tak banyak pohon di Pendopo sehingga tak mampu menahan sinar matahari yang kian terik. Sedang alun-alun kota tak lagi berfungsi sebagai alun-alun ataupun menunjukkan sebuah sejarah kota. Alun-alun kini telah berubah fungsi menjadi tempat berjualan pedagang asongan. Trotoar pun dipenuhi lapak-lapak para pedagang kaki lima. Tak ada rumput hijau, hingga aku terkadang sering bertanya kenapa tempat ini disebut alun-alun?

Aku melihat jam di HP ku, ‘’ gila’’ sudah jam 08.30 WIB tapi lomba belum juga dimulai. Aku sih bukan termasuk peserta ( karena syarat peserta lomba adalah sudah menikah ) tapi cuma sebagai ‘’ juru rias ‘’ saja, untuk para Ibu-ibu peserta dari kantorku. Cape, dari jam 06.30 WIB aku mesti mendandani 9 orang. Sebenarnya, kalau boleh jujur aku bukan tipe orang yang suka berdandan, hanya saja kebetulan aku berjilbab, sedangkan para Ibu-ibu itu memutuskan untuk memakai jilbab pada saat perlombaan. Sedangkan, keseharian mereka di kantor tidak pernah memakai jilbab. So, aku mesti memakaikan jilbab buat mereka juga mesti memakaikan make up buat mereka.

Akhirnya jam 09.00 WIB lomba dimulai. Suasana di Pendopo kian membuatku tak nyaman, panas bercampur suara para Ibu-ibu dengan obrolannya masing-masing, suara nyanyian para peserta lomba, juga suara kendaraan-kendaraan di luar, karena memang kebetulan lokasi Pendopo tepat berada di pinggir jalur Pantura. Tapi semua itu tak mampu menghiburku, malah aku merasa benar-benar asing dengan lingkungan seperti ini, asing dengan obrolan para Ibu-ibu, asing dengan semuanya bahkan lebih parah lagi aku benar-benar merasa sendiri.

***

Getar dari HP ku mengejutkanku, ternyata SMS darimu, tapi tak lebih cuma sebuah laporan darimu, tak menjawab apapun. Tak ada rasa apapun, bahkan tak ada tangisan kali ini. Hanya kosong dan tanpa makna… Mungkin aku akan terbiasa lagi dengan hidupku seperti ini. Mungkin aku akan terbiasa dengan sikapmu. Mungkin Tuhan telah menuliskan takdir Nya untukku bahwa aku mesti terus terluka, mungkin juga aku tidak akan pernah dicintai orang yang aku cintai, atau mungkin aku mesti banyak introspeksi diri. Mungkin… mungkin… mungkin…..


***

Suasana di Pendopo kian ramai saja. Sesaat aku baru tersadar, ternyata semua orang disini berjilbab semua, kecuali para laki-laki tentunya. Pendopo menjadi bernuansa Orange Salem karena seragam mereka seperti itu, jilbab pun dengan warna senada, hingga ketika kita berpikir untuk mencari seseorang kita mesti melihat wajah mereka satu persatu karena semuanya sama. Lucu juga tapi jujur disudut hati kecilku merasa ‘’ trenyuh ‘’ karena jilbab digunakan hanya sebagai symbol semata, hanya dipakai untuk pemanis semata dan mungkin sebagian besar peserta menggunakan pada hari ini saja dan setelah itu mereka kembali dengan kesehariannya yang tanpa jilbab bahkan sering aku melihat mereka mengumbar auratnya.

Aku memang tak berhak untuk menilai mereka ataupun menghakimi mereka, hanya saja pikiran ini muncul begitu saja. Ini hanya pemikiran seorang perempuan biasa, pemikiran yang mungkin kata orang terlalu subyektif. Tapi, boleh kan aku merasa takut jika kelak jilbab jadi berubah fungsi sebenarnya ? Aku takut jika jilbab digunakan orang tak lebih hanya digunakan untuk menutupi kejelekan mereka semata, aku takut orang berjilbab tapi tak pernah berusaha untuk men ‘’jilbab’’ i hatinya, aku takut jika jilbab hanya digunakan sebagai symbol prestige seseorang semata. Dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.
Wallahualam Bish Shawab…


Brebes, 7 Desember 2005

May Be He's Not My Fate.....

‘’ Dering telpon seperti sihir
Suaramu membius imajinasiku

Ada senyum dalam kegamangan rasa
Ketika hati menjadi taruhan
Untuk seuntai cinta ‘’

Malam belum beranjak larut ketika kau menelponku dan bilang sudah berada di ujung jalan depan rumah petakku. Dengan hati tak menentu kulewati lorong dengan penerangan lampu yang hanya 5 watt. Tercium aroma got yang sedikit menyesakkan dadaku. Dalam keremangan malam karena rembulan pun enggan bersinar, aku melihat sosokmu berjalan mendekatiku. Rasanya aku ingin sembunyi bahkan berlari saja. Ada sedikit rasa sesal ketika aku memintamu datang ke rumah petakku. Penyesalan bukan karena kedatanganmu tapi lebih karena ketakutanku bertemu denganmu juga rasa malu yang tak mampu aku sembunyikan.

Dibawah langit yang pekat juga sedikit hembusan angin kumbang Kota Brebes yang seakan menusuk seluruh persendianku kau jabat tanganku. Ah, satu sentuhan fisik setelah lebih satu tahun aku mengenalmu. Mungkin menurutmu itu adalah hal yang biasa saja, tapi tidak menurutku. Untung gelap membantuku untuk menutupi rona mukaku yang mungkin makin pias dan suara motor serta orang berjualan Sate dan Nasgor membantuku menyembunyikan nada suaraku yang sedikit bergetar ketika kata basa-basi kuucapkan, ‘’ Mas datang dengan siapa?’’

‘’ Tadi diantar sama Masku, tapi sekarang udah pulang,’’ begitu kau menjawabku.

Lalu kita berjalan menuju rumah petakku, sekali lagi langit membantuku dengan gelapnya. Gelap yang selama ini aku takuti ternyata malam ini menunjukkan kesetiaannya padaku.

Rumah petak yang kecil yang selama ini menjadi saksi kesendirianku, ada tiga ruang tersekat, ruang tamu, ruang tidur dan paling belakang dapur yang menyatu dengan kamar mandi.

Dan kita duduk di ruang tamuku yang kosong. Tembok yang ku cat biru muda, karpet berwarna biru dengan garis-garis putih, disudut ruangan ada tumpukan sebagian buku-bukuku yang tanpa rak karena aku belum mampu membelinya. Penerangan neon 35 watt belum cukup terang, mungkin karena pengaruh cat hingga terkesan remang, begitu kataku, ketika kau bilang
, ‘’ Perasaan remang ya, jadi ngantuk rasanya.’’

Lalu kaupun sibuk dengan buku-bukuku dan membaca salah satu artikelku. Hanya sekilas aku memandangmu karena tak ada keberanian untuk terus menatapmu. Baju yang kau pakai malam itu mengingatkanku tentang Jogja, coklat lurik kau padu dengan jeans muda kontras sekali dengan warna kulitmu. Satu sosok yang hanya bisa kutemui dalam rentang waktu satu tahun sekali itupun tak pernah lebih dari satu jam.

Obrolan kita pun hanya biasa-biasa saja, mungkin aku yang selalu tertawa dengan nada bicara yang riang tapi tak lebih untuk menutupi kegugupanku bertemu denganmu. Kartu pers-ku menjadi sasaran kekalutan hatiku, kuremas, kulepas dan kupasang lagi begitu seterusnya selama rentang pembicaraan diantara kita.

Entah mengapa aku merasa ada keterpaksaan ketika kau tersenyum, dan entah aku merasa juga ada keterpaksaan kau datang ke rumah petakku. Mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja.

Jam 09.30 pm kaupun pulang, ada sesuatu yang hilang ketika kau pergi. Bukan terobati kerinduanku tapi malah rasa nyeri yang kurasakan dalam dadaku, sakit sekali, benar-benar sakit. Lalu kutulis SMS untukmu,
‘’ Makasih ya udah mo maen. Mudah-mudahan bukan karena keterpaksaan.’’

Jam sebelas malam baru kuterima balasan SMS mu diantara isak tangisku yang tak mampu kubendung,
‘’ Baru sampai rumah. Habis makan mie ayam krn makanan di rumah sdh abis. Makasih ya menerima kedatanganku yang sebentar.’’


***

Ah, sebuah pertemuan yang sebenarnya selalu aku nantikan tapi setiap kali aku merasa sakit. Aku mengenalmu hampir 2 tahun yang lalu lewat temen kantorku. Dan sejak saat itu aku mengenalmu lewat telpon dan email yang selalu kutulis tiap hari.

Mungkin terdengar tidak masuk akal ketika aku mulai merasakan sesuatu yang lain di hatiku. Entah apa itu, mungkin cinta atau mungkin tak lebih karena kesendirianku, kesepianku, mungkin aku sudah bosan atau mungkin aku memang membutuhkanmu. Tapi yang kutahu, aku merasa damai jika mendengar suaramu, membaca SMS dan surat-suratmu. Aku bisa tertawa lepas dan aku bisa bicara tentang masa laluku tanpa rasa sakit. Denganmu, aku merasa menemukan diriku kembali, menemukan impian-impian yang telah lama terlupakan dan kini mulai kubangun kembali.


***

Setelah pertemuan malam tadi kembali aku membuka file-file suratmu juga file-file dalam otakku tuk sekedar menghapus resahku.

Ada beberapa tulisanmu yang selalu kubaca berulang-ulang ;

‘’ Soal perasaanku, tetaplah berusaha memahami. Lelaki
memang cenderung ragu, karena selalu mengaitkannya
secara rasional. Perasaan bisa tergetar, keinginan
bisa sama, tapi penilaian akhir tetap butuh proses.
Semoga tak membuatmu mundur selangkah sekali pun.’’

‘’ Mungkin banyak hal yang perlu dibicarakan. Bukan lagi
soal masa lalu, tapi masa depan. Masa lalu biarlah
menempati sisi hati kita, menjadi album sejarah yang
tak bisa dihapuskan. Ia hanya perlu sebagai pengingat kita.’’

Aku juga masih ingat waktu aku menelponmu tanggal 21 Juli tepat bulan purnama sedang sempurna. Pembicaraan begitu cair hingga tanpa kuduga sebelumnya kaupun bilang, ‘’ Sebaiknya kita menikah saja di bulan November ini atau nggak Januari tahun depan. ‘’

Beberapa detik aku terdiam, ‘
’ Udahlah, Mas nggak usah bercanda, jangan membuatku tersanjung dan bermimpi, nanti aku akan kecewa jika aku bangun. ‘’

‘’ Ini serius bukan bercanda, lalu dengan cara apa aku membuktikan kalau aku serius?’’ begitu katamu.

‘’ Kalau memang serius, Mas pulang dan ngomong langsung padaku.’’

‘’ Kalau pulang, aku mungkin nggak bisa, karena kamu tahu sendiri begitu banyak hal yang tak bisa kutinggalkan di Jakarta.”

‘’ Demi Allah, Mas bener-bener dengan ucapan Mas ?’’

’ Iya, Demi Allah.’’ Begitu katamu.

Paginya aku menulis email untuk kembali menegaskan ucapanmu tadi malam, kaupun membalas :

‘’ Bangun, bangun, bangun... Meski mimpi indah, orang kan
mesti bangun dari tidur. Hehehe, tuh kan aku sudah
bangunin kamu.

Sebenarnya gak ada yang ngambang dari surat-suratku juga
pembicaraan ditelpon.
Justru aku berusaha mengajak membumi, bicara soal berdamai dengan
masa lalu, tentang beratnya hidup,tentang persepsi perempuan dan
laki-laki, dan sebagainya. Artinya, banyak hal kan yang harus
disamakan, atau setidaknya diketahui oleh masing-masing pihak. Aku
memang panasnya lama. Yang jelas pelan tapi pasti. Semuanya akan
dibuktikan nanti.’’

Beberapa hari kemudian kau mengirim email padaku :

‘’ Suratku-suratku selalu serius, dan ini bisa kamu jadikan pegangan.
Pembicaraan di telepon selalu penuh distorsi. Ada banyak tawa dan
canda. Itu memang penting, meski kadang melenakan yang lain. Atau,
mungkin sebaiknya kita mulai bikin aturan ... ini serius, ini tidak
setiap mulai pembicaraan? Hehehe.
Jadi gak asyik ya. Tidaklah, biarkanlah seperti ini.

Tapi memang, laki-laki (atau tepatnya aku lah) suka membentengi
diri dengan candaan kalau didesak lagi soal pernikahan. Prinsipnya,
apa jawaban yang pertama jadi pegangan. Selanjutnya, kalau ia siap
dan sudah memutuskan, ia sendiri yang akan mengatakannya.’’

***

Aku benar-benar nggak tahu mana yang harus kupegang, SURAT-mu kah atau PEMBICARAAN LEWAT TELPON ?

Yang jelas setelah pertemuan tadi malam kembali aku menangis dan kembali aku tersadar tentang posisiku, dan kini aku mencoba mengurai kembali semua rasaku mungkin aku tidak bisa menepati janjiku padamu bahwa :

‘’ dalam segala hal aku mungkin terformat untuk selalu bisa memahami segala sesuatu termasuk memahamimu, akan tetapi jujur aku tidak pandai dalam hal memahami hati seseorang apalagi urusan cinta, karena cinta itu adalah urusan rasa, hati bukan logika walaupun cinta bisa tumbuh dalam musim apapun. Konsep boleh sama, keinginan juga boleh sama tetapi dalam hal ini bukan itu yang jadi alasan utama bersama tapi lebih pada keikhlasan untuk bisa menerima dan juga pada kehendak Tuhan. Ketika kau berharap agar aku tidak mundur selangkah sekali pun, aku lebih suka bilang bahwa ketika aku sudah melangkah maka aku akan terus melangkah tapi aku tidak berani membuat impian yang terlalu muluk dalam hal ini atau berkhayal terlalu tinggi, aku lebih berpikir jangan terus membuat mimpi jika itu menyakitkan tapi buatlah sesuatu yang membumi karena aku terbentuk dari rasa sakit dan jujur aku sudah sangat cape dengan rasa sakit. Jadi aku lebih berpikir, walaupun aku sangat berharap padamu dan sangat dalam rasaku tapi aku harus berusaha untuk realistis dan belajar menghadapi segala kemungkinan walaupun itu yang terburuk sekalipun, aku harus siap dari sekarang agar aku tak merasa terlalu sakit jika itu terjadi. Ini bukan masalah aku ragu ataupun menyerah tapi lebih pada kepasrahan untuk menerima segala sesuatu yang mungkin terjadi karena dalam hal ini semua tergantung padamu untuk memaknainya. Mungkin seperti yang selalu Ibu ku bilang " Nduk, wong urip kuwi saklintire wae " dalam artian aku hanya berusaha sebatas kemampuanku pada akhirnya hanya Tuhan yang akan menyelesaikannya.’’

Dan kini aku takkan menyalahkan siapa-siapa dalam hidup ini
Ketakutanku telah gugur satu demi satu bersama hijaunya daun yang meranggas
Telah kuredam hasratku
Telah cukup aku belajar untuk menerima rasa sakit dengan kesadaran.



‘’ LEBIH BAIK BANGUN DALAM KUBANGAN LUMPUR YANG BAU, DARIPADA MIMPI DALAM ISTANA INDAH PENUH GAIRAH.’’

Brebes, 24 November 2005













SMS bercerita tentang......

Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Matahari selalu setia terbit dari timur, tapi mungkin pada suatu ketika matahari pun enggan menampakkan diri sama halnya lekangnya kesetiaan makhluk yang namanya laki-laki. Ini bukan berarti aku mendiskreditkan laki-laki, tapi mungkin karena aku belum pernah mendapatkan laki-laki yang setia, tulus juga penuh rasa cinta. ( Kok jadi melankolis ya? ). Atau mungkin memang semua manusia mempunyai sifat seperti itu tak pernah bisa mempunyai sifat setia pada pasangannya. Beberapa kasus bisa membuktikannya. Tapi aku tidak berkompeten untuk menuliskannya disini, ini hanya sebuah keluh kesahku semata atau bisa juga ketidak puasanku atas hubunganku selama ini. Tadi malam hujan tidak biasanya lama mengguyur kota Brebes. Sebuah kota yang menurut ukuranku begitu panas. Hingga terkadang aku berpikir tak ada tempat untukku berlindung dari kerontangnya musim di kota ini. Kota yang benar-benar gersang, sama halnya rasaku yang kian gersang bahkan kini mulai meranggas. Ada ketakutan hatiku akan mengerdil lalu mati dengan perlahan. Ah, kapan hujan akan datang mengguyur keringnya rasaku? Hingga aku bisa mencium kembali aroma “ ampo “ yang begitu aku rindukan bahkan aku begitu tergila-gila karenanya. Bahkan aku rela mengorbankan jiwaku untuk bisa mencium aromanya sama halnya dengan aroma kemuning di kampung halamanku. Aroma yang menentramkan, hingga mampu membius semua emosiku. Ini bukan cerita patah hati gadis remaja tapi lebih pada kesendirian yang kian akut. Hingga aku begitu takut ketika ada seorang laki-laki yang begitu istimewa dihatiku mengatakan sesuatu yang membuatku mengalami imsonia beberapa hari lamanya. Dia bilang lewat SMS “ Mengakhiri kesendirian mungkin sama sulitnya dengan melepas nafas terakhir. Butuh keikhlasan bahkan atas nama Tuhan “ Padahal beberapa menit sebelumnya dia mengirimku SMS yang berbeda “ Tiba2 kumerasa sepi, sendiri. Entah kenapa kubutuh seseorang, menemaniku dalam diam. Entah siapa”. Aku bilang, “ Sepi seperti ilusi tapi sendiri adalah pilihan”. ” Kesendirian adl pilihan. Tak banyak yg memilih, tidak juga aku.Tapi dalam keramaian pun kesendirian sering datang tiba2. kesendirian pada akhirnya juga adalah keniscayaan “ begitulah SMS yang dia kirim padaku. Ah, aku pikir dia benar-benar merasa sendiri hingga aku menulis, “ Jika kesendirian bukan pilihanmu dan kesendirian adalah keniscayaan kenapa tidak mencoba untuk mengakhirinya?” Tapi ternyata jawabannya benar-benar membuat denyut nadiku berhenti sesaat hingga nafasku terasa berat juga seluruh sistem dalam tubuhku tak bisa lagi bekerja. Jika memang mengakhiri kesendirian sama sulitnya dengan melepas nafas terakhir, kenapa banyak orang yang memutuskan untuk tidak sendiri? Dancuk!!! Kau membuatku benar-benar patah cinta……………. ! Brebes, 24 November 2005