May Be He's Not My Fate.....
‘’ Dering telpon seperti sihir
Suaramu membius imajinasiku
Ada senyum dalam kegamangan rasa
Ketika hati menjadi taruhan
Untuk seuntai cinta ‘’
Malam belum beranjak larut ketika kau menelponku dan bilang sudah berada di ujung jalan depan rumah petakku. Dengan hati tak menentu kulewati lorong dengan penerangan lampu yang hanya 5 watt. Tercium aroma got yang sedikit menyesakkan dadaku. Dalam keremangan malam karena rembulan pun enggan bersinar, aku melihat sosokmu berjalan mendekatiku. Rasanya aku ingin sembunyi bahkan berlari saja. Ada sedikit rasa sesal ketika aku memintamu datang ke rumah petakku. Penyesalan bukan karena kedatanganmu tapi lebih karena ketakutanku bertemu denganmu juga rasa malu yang tak mampu aku sembunyikan.
Dibawah langit yang pekat juga sedikit hembusan angin kumbang Kota Brebes yang seakan menusuk seluruh persendianku kau jabat tanganku. Ah, satu sentuhan fisik setelah lebih satu tahun aku mengenalmu. Mungkin menurutmu itu adalah hal yang biasa saja, tapi tidak menurutku. Untung gelap membantuku untuk menutupi rona mukaku yang mungkin makin pias dan suara motor serta orang berjualan Sate dan Nasgor membantuku menyembunyikan nada suaraku yang sedikit bergetar ketika kata basa-basi kuucapkan, ‘’ Mas datang dengan siapa?’’
‘’ Tadi diantar sama Masku, tapi sekarang udah pulang,’’ begitu kau menjawabku.
Lalu kita berjalan menuju rumah petakku, sekali lagi langit membantuku dengan gelapnya. Gelap yang selama ini aku takuti ternyata malam ini menunjukkan kesetiaannya padaku.
Rumah petak yang kecil yang selama ini menjadi saksi kesendirianku, ada tiga ruang tersekat, ruang tamu, ruang tidur dan paling belakang dapur yang menyatu dengan kamar mandi.
Dan kita duduk di ruang tamuku yang kosong. Tembok yang ku cat biru muda, karpet berwarna biru dengan garis-garis putih, disudut ruangan ada tumpukan sebagian buku-bukuku yang tanpa rak karena aku belum mampu membelinya. Penerangan neon 35 watt belum cukup terang, mungkin karena pengaruh cat hingga terkesan remang, begitu kataku, ketika kau bilang, ‘’ Perasaan remang ya, jadi ngantuk rasanya.’’
Lalu kaupun sibuk dengan buku-bukuku dan membaca salah satu artikelku. Hanya sekilas aku memandangmu karena tak ada keberanian untuk terus menatapmu. Baju yang kau pakai malam itu mengingatkanku tentang Jogja, coklat lurik kau padu dengan jeans muda kontras sekali dengan warna kulitmu. Satu sosok yang hanya bisa kutemui dalam rentang waktu satu tahun sekali itupun tak pernah lebih dari satu jam.
Obrolan kita pun hanya biasa-biasa saja, mungkin aku yang selalu tertawa dengan nada bicara yang riang tapi tak lebih untuk menutupi kegugupanku bertemu denganmu. Kartu pers-ku menjadi sasaran kekalutan hatiku, kuremas, kulepas dan kupasang lagi begitu seterusnya selama rentang pembicaraan diantara kita.
Entah mengapa aku merasa ada keterpaksaan ketika kau tersenyum, dan entah aku merasa juga ada keterpaksaan kau datang ke rumah petakku. Mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja.
Jam 09.30 pm kaupun pulang, ada sesuatu yang hilang ketika kau pergi. Bukan terobati kerinduanku tapi malah rasa nyeri yang kurasakan dalam dadaku, sakit sekali, benar-benar sakit. Lalu kutulis SMS untukmu, ‘’ Makasih ya udah mo maen. Mudah-mudahan bukan karena keterpaksaan.’’
Jam sebelas malam baru kuterima balasan SMS mu diantara isak tangisku yang tak mampu kubendung, ‘’ Baru sampai rumah. Habis makan mie ayam krn makanan di rumah sdh abis. Makasih ya menerima kedatanganku yang sebentar.’’
***
Ah, sebuah pertemuan yang sebenarnya selalu aku nantikan tapi setiap kali aku merasa sakit. Aku mengenalmu hampir 2 tahun yang lalu lewat temen kantorku. Dan sejak saat itu aku mengenalmu lewat telpon dan email yang selalu kutulis tiap hari.
Mungkin terdengar tidak masuk akal ketika aku mulai merasakan sesuatu yang lain di hatiku. Entah apa itu, mungkin cinta atau mungkin tak lebih karena kesendirianku, kesepianku, mungkin aku sudah bosan atau mungkin aku memang membutuhkanmu. Tapi yang kutahu, aku merasa damai jika mendengar suaramu, membaca SMS dan surat-suratmu. Aku bisa tertawa lepas dan aku bisa bicara tentang masa laluku tanpa rasa sakit. Denganmu, aku merasa menemukan diriku kembali, menemukan impian-impian yang telah lama terlupakan dan kini mulai kubangun kembali.
***
Setelah pertemuan malam tadi kembali aku membuka file-file suratmu juga file-file dalam otakku tuk sekedar menghapus resahku.
Ada beberapa tulisanmu yang selalu kubaca berulang-ulang ;
‘’ Soal perasaanku, tetaplah berusaha memahami. Lelaki
memang cenderung ragu, karena selalu mengaitkannya
secara rasional. Perasaan bisa tergetar, keinginan
bisa sama, tapi penilaian akhir tetap butuh proses.
Semoga tak membuatmu mundur selangkah sekali pun.’’
‘’ Mungkin banyak hal yang perlu dibicarakan. Bukan lagi
soal masa lalu, tapi masa depan. Masa lalu biarlah
menempati sisi hati kita, menjadi album sejarah yang
tak bisa dihapuskan. Ia hanya perlu sebagai pengingat kita.’’
Aku juga masih ingat waktu aku menelponmu tanggal 21 Juli tepat bulan purnama sedang sempurna. Pembicaraan begitu cair hingga tanpa kuduga sebelumnya kaupun bilang, ‘’ Sebaiknya kita menikah saja di bulan November ini atau nggak Januari tahun depan. ‘’
Beberapa detik aku terdiam, ‘’ Udahlah, Mas nggak usah bercanda, jangan membuatku tersanjung dan bermimpi, nanti aku akan kecewa jika aku bangun. ‘’
‘’ Ini serius bukan bercanda, lalu dengan cara apa aku membuktikan kalau aku serius?’’ begitu katamu.
‘’ Kalau memang serius, Mas pulang dan ngomong langsung padaku.’’
‘’ Kalau pulang, aku mungkin nggak bisa, karena kamu tahu sendiri begitu banyak hal yang tak bisa kutinggalkan di Jakarta.”
‘’ Demi Allah, Mas bener-bener dengan ucapan Mas ?’’
‘’ Iya, Demi Allah.’’ Begitu katamu.
Paginya aku menulis email untuk kembali menegaskan ucapanmu tadi malam, kaupun membalas :
‘’ Bangun, bangun, bangun... Meski mimpi indah, orang kan
mesti bangun dari tidur. Hehehe, tuh kan aku sudah
bangunin kamu.
Sebenarnya gak ada yang ngambang dari surat-suratku juga
pembicaraan ditelpon.
Justru aku berusaha mengajak membumi, bicara soal berdamai dengan
masa lalu, tentang beratnya hidup,tentang persepsi perempuan dan
laki-laki, dan sebagainya. Artinya, banyak hal kan yang harus
disamakan, atau setidaknya diketahui oleh masing-masing pihak. Aku
memang panasnya lama. Yang jelas pelan tapi pasti. Semuanya akan
dibuktikan nanti.’’
Beberapa hari kemudian kau mengirim email padaku :
‘’ Suratku-suratku selalu serius, dan ini bisa kamu jadikan pegangan.
Pembicaraan di telepon selalu penuh distorsi. Ada banyak tawa dan
canda. Itu memang penting, meski kadang melenakan yang lain. Atau,
mungkin sebaiknya kita mulai bikin aturan ... ini serius, ini tidak
setiap mulai pembicaraan? Hehehe.
Jadi gak asyik ya. Tidaklah, biarkanlah seperti ini.
Tapi memang, laki-laki (atau tepatnya aku lah) suka membentengi
diri dengan candaan kalau didesak lagi soal pernikahan. Prinsipnya,
apa jawaban yang pertama jadi pegangan. Selanjutnya, kalau ia siap
dan sudah memutuskan, ia sendiri yang akan mengatakannya.’’
***
Aku benar-benar nggak tahu mana yang harus kupegang, SURAT-mu kah atau PEMBICARAAN LEWAT TELPON ?
Yang jelas setelah pertemuan tadi malam kembali aku menangis dan kembali aku tersadar tentang posisiku, dan kini aku mencoba mengurai kembali semua rasaku mungkin aku tidak bisa menepati janjiku padamu bahwa :
‘’ dalam segala hal aku mungkin terformat untuk selalu bisa memahami segala sesuatu termasuk memahamimu, akan tetapi jujur aku tidak pandai dalam hal memahami hati seseorang apalagi urusan cinta, karena cinta itu adalah urusan rasa, hati bukan logika walaupun cinta bisa tumbuh dalam musim apapun. Konsep boleh sama, keinginan juga boleh sama tetapi dalam hal ini bukan itu yang jadi alasan utama bersama tapi lebih pada keikhlasan untuk bisa menerima dan juga pada kehendak Tuhan. Ketika kau berharap agar aku tidak mundur selangkah sekali pun, aku lebih suka bilang bahwa ketika aku sudah melangkah maka aku akan terus melangkah tapi aku tidak berani membuat impian yang terlalu muluk dalam hal ini atau berkhayal terlalu tinggi, aku lebih berpikir jangan terus membuat mimpi jika itu menyakitkan tapi buatlah sesuatu yang membumi karena aku terbentuk dari rasa sakit dan jujur aku sudah sangat cape dengan rasa sakit. Jadi aku lebih berpikir, walaupun aku sangat berharap padamu dan sangat dalam rasaku tapi aku harus berusaha untuk realistis dan belajar menghadapi segala kemungkinan walaupun itu yang terburuk sekalipun, aku harus siap dari sekarang agar aku tak merasa terlalu sakit jika itu terjadi. Ini bukan masalah aku ragu ataupun menyerah tapi lebih pada kepasrahan untuk menerima segala sesuatu yang mungkin terjadi karena dalam hal ini semua tergantung padamu untuk memaknainya. Mungkin seperti yang selalu Ibu ku bilang " Nduk, wong urip kuwi saklintire wae " dalam artian aku hanya berusaha sebatas kemampuanku pada akhirnya hanya Tuhan yang akan menyelesaikannya.’’
Dan kini aku takkan menyalahkan siapa-siapa dalam hidup ini
Ketakutanku telah gugur satu demi satu bersama hijaunya daun yang meranggas
Telah kuredam hasratku
Telah cukup aku belajar untuk menerima rasa sakit dengan kesadaran.
‘’ LEBIH BAIK BANGUN DALAM KUBANGAN LUMPUR YANG BAU, DARIPADA MIMPI DALAM ISTANA INDAH PENUH GAIRAH.’’
Brebes, 24 November 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home