Friday, March 03, 2006

Dan Mereka pun Berjilbab....

Waktu menunjukkan jam 08.00 WIB ketika rombongan peserta Koor kantorku sampai di tempat perlombaan. Masih pagi tapi matahari terasa terik sekali, panas. Debu-debu beterbangan seiring langkah-langkah kaki para Ibu-ibu yang menjadi peserta lomba juga para ‘’suporter’’ mereka tentunya. Tak banyak pohon di Pendopo sehingga tak mampu menahan sinar matahari yang kian terik. Sedang alun-alun kota tak lagi berfungsi sebagai alun-alun ataupun menunjukkan sebuah sejarah kota. Alun-alun kini telah berubah fungsi menjadi tempat berjualan pedagang asongan. Trotoar pun dipenuhi lapak-lapak para pedagang kaki lima. Tak ada rumput hijau, hingga aku terkadang sering bertanya kenapa tempat ini disebut alun-alun?

Aku melihat jam di HP ku, ‘’ gila’’ sudah jam 08.30 WIB tapi lomba belum juga dimulai. Aku sih bukan termasuk peserta ( karena syarat peserta lomba adalah sudah menikah ) tapi cuma sebagai ‘’ juru rias ‘’ saja, untuk para Ibu-ibu peserta dari kantorku. Cape, dari jam 06.30 WIB aku mesti mendandani 9 orang. Sebenarnya, kalau boleh jujur aku bukan tipe orang yang suka berdandan, hanya saja kebetulan aku berjilbab, sedangkan para Ibu-ibu itu memutuskan untuk memakai jilbab pada saat perlombaan. Sedangkan, keseharian mereka di kantor tidak pernah memakai jilbab. So, aku mesti memakaikan jilbab buat mereka juga mesti memakaikan make up buat mereka.

Akhirnya jam 09.00 WIB lomba dimulai. Suasana di Pendopo kian membuatku tak nyaman, panas bercampur suara para Ibu-ibu dengan obrolannya masing-masing, suara nyanyian para peserta lomba, juga suara kendaraan-kendaraan di luar, karena memang kebetulan lokasi Pendopo tepat berada di pinggir jalur Pantura. Tapi semua itu tak mampu menghiburku, malah aku merasa benar-benar asing dengan lingkungan seperti ini, asing dengan obrolan para Ibu-ibu, asing dengan semuanya bahkan lebih parah lagi aku benar-benar merasa sendiri.

***

Getar dari HP ku mengejutkanku, ternyata SMS darimu, tapi tak lebih cuma sebuah laporan darimu, tak menjawab apapun. Tak ada rasa apapun, bahkan tak ada tangisan kali ini. Hanya kosong dan tanpa makna… Mungkin aku akan terbiasa lagi dengan hidupku seperti ini. Mungkin aku akan terbiasa dengan sikapmu. Mungkin Tuhan telah menuliskan takdir Nya untukku bahwa aku mesti terus terluka, mungkin juga aku tidak akan pernah dicintai orang yang aku cintai, atau mungkin aku mesti banyak introspeksi diri. Mungkin… mungkin… mungkin…..


***

Suasana di Pendopo kian ramai saja. Sesaat aku baru tersadar, ternyata semua orang disini berjilbab semua, kecuali para laki-laki tentunya. Pendopo menjadi bernuansa Orange Salem karena seragam mereka seperti itu, jilbab pun dengan warna senada, hingga ketika kita berpikir untuk mencari seseorang kita mesti melihat wajah mereka satu persatu karena semuanya sama. Lucu juga tapi jujur disudut hati kecilku merasa ‘’ trenyuh ‘’ karena jilbab digunakan hanya sebagai symbol semata, hanya dipakai untuk pemanis semata dan mungkin sebagian besar peserta menggunakan pada hari ini saja dan setelah itu mereka kembali dengan kesehariannya yang tanpa jilbab bahkan sering aku melihat mereka mengumbar auratnya.

Aku memang tak berhak untuk menilai mereka ataupun menghakimi mereka, hanya saja pikiran ini muncul begitu saja. Ini hanya pemikiran seorang perempuan biasa, pemikiran yang mungkin kata orang terlalu subyektif. Tapi, boleh kan aku merasa takut jika kelak jilbab jadi berubah fungsi sebenarnya ? Aku takut jika jilbab digunakan orang tak lebih hanya digunakan untuk menutupi kejelekan mereka semata, aku takut orang berjilbab tapi tak pernah berusaha untuk men ‘’jilbab’’ i hatinya, aku takut jika jilbab hanya digunakan sebagai symbol prestige seseorang semata. Dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.
Wallahualam Bish Shawab…


Brebes, 7 Desember 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home