Desaku Yang Kucinta.......
Teman saya, selalu mengajak menyanyikan lagu “Desaku” ketika dia kuajak pulang ke kampung halamanku. “Desaku yang kucinta….”, demikian lantunan bait pertama lagu Desaku yang dinyanyikan secara kompak. Begitu romantik, syahdu dan menggetarkan hati. Jika Indonesia Raya merupakan sebuah national anthem untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia, Desaku adalah sebuah local anthem yang mungkin bisa membangkitkan kecintaan dan kepedulian terhadap desa. Kepedulian terhadap desa adalah sebuah komitmen mulia, karena desa adalah basis kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia. Kalau Anda punya kepedulian terhadap masyarakat akar-rumput, maka Anda tidak boleh melupakan desa. Membangun negara-bangsa Indonesia, demikian tuturnya, harus dimulai dari bawah, yaitu membuat desa terkondisi yang kemudian diangkat naik ke atas. Bagaimana melakukan transformasi dari cinta pada desa menuju komitmen pada desa yang membuat desa terkondisi? Cinta mungkin terlalu klise yang didramatisir dalam sinetron. Tetapi komitmen harus diwujudkan menjadi the real actions. Sebuah komitmen pada desa bisa kita mulai dari pembacaan secara berpihak terhadap posisi desa dalam konteks struktur ekonomi-politik yang timpang, yang hirarkhis-sentralistik, antara desa dengan supradesa (rezim global, nasional, provinsi dan kabupaten). Adalah kebijakan pemerintah dan sindrom pembangunanisme yang membuat desa terpuruk dan marginal. Baik pemerintah, akademisi, maupun sebagian besar warga Indonesia memandang desa dengan sebelah mata: orang desa itu miskin, bodoh, kolot, tradisional, terbelakang, dan seterusnya. Paradigma pembangunan selama ini berupaya membikin desa seperti kota dengan cara yang keliru. Pemerintah membikin rencana nasional secara sentralistik lalu diterapkan melalui jalur hirarkhi birokrasi ke desa. Desa hanya jadi obyek. Akibatnya sebutan desa itu inferior. Orang merasa rendah diri kalau mengidentifikasi sebagai “orang desa” atau belajar mengkaji desa. Semua pandangan itu harus dirombak dan harus dibalik. Desa menyimpan potensi dan kekuatan yang luar biasa: kearifan lokal, modal sosial, basis ekonomi rakyat dan lain-lain. Karena itu, kebijakan pembangunan harus berangkat dari desa, yakni mengangkat potensi dan kekuatan desa, bukan sebaliknya membawa konsep (entah dari mana asalnya) untuk merusak potensi dan kekuatan desa. Kalau dalam konteks desentralisasi (relasi desa dengan supradesa), desa harus “dibela”. Mengapa? Desentralisasi menganjurkan bahwa kekuasaan, kewenangan, kekayaan dan tanggungjawab harus dialihkan dari atas ke bawah sampai ke desa. Desa harus mandiri. Prinsip subsidiarity (pengambilan keputusan dan penggunaan kewenangan secara lokal) harus jalan tanpa harus menunggu instruksi (dhawuh) dari atas. Kalau desentralisasi dan subsidiarity jalan, maka desa jadi lebih kreatif dan bertanggungjawab, sehingga kreasi maupun potensi lokal bisa dibangkitkan. Sebaliknya, kalau desa diperintah terus, maka ia jadi kerdil terus. Tetapi praktik desentralisasi di Indonesia tidak berpihak kepada desa. Desa dipandang sebelah mata oleh Jakarta dan Kabupaten. Desa menjadi domain kekuasaan dan kewenangan kabupaten. Desa tidak punya otonomi. Otonomi daerah berhenti di tangan bupati. Konteks politik inilah yang kini mendorong lahirnya banyak aliansi desa untuk mendesakkan otonomi desa di hadapan pemerintah supradesa. Kekuatan civil society yang menaruh komitmen pada masyarakat bawah tentu harus ikut berjuang “membela” aliansi desa itu. Ke depan civil society movement adalah kekuatan besar yang bakal menjebol struktur kekuasaan yang hirarkhis-sentralistik, dan sekaligus membawa transformasi otonomi desa yang berkelanjutan.( Copas )